Senin, 02 Juni 2008

modern dance dari metro balikpapan

Minggu, 30 Maret 2008
Modern Dancer


,- Sorak sorai penonton yang sebagian besar adalah pelajar menggema ke hampir seluruh area lapangan Basket SMA Ptra Dharma. Bayangin aja kalo para pelajar cewek remaja dan ABG, bergerak lincah seiring dentuman musik, yang kemudian satu persatu berliuk-liuk tanpa suatu komando. penonton yang tidka lain adalah rekan-rekan sekolah mereka telah lama memasang mata, sontak menjadi agak histeris.

Begitulah kira-kira hebohnya Modern Dance, yang merupakan aksi dari kegiatan ektra kurikuler pelajar SMA Patra Dharma Balikpapan yang tergabung Smaradha Dance. Menariknya, aksi para dancer yang yang masih belia dan cantikcantik ini sedikit yang melakukan kesalahan. Entah karena benar-benar sudah terlatih atau emang sudah biasa tampil di atas panggung, mengingat umumnya mereka terbiasa beraksi dan berlatih di sekolah dan terkadang berlatih di rumah salah seorang anggota secara bergantian. “Kita sering berlatih meskipun di sekolah ada waktu sendiri untuk beratih, tapi kita juga berlatih dirumah secara bergantian,” ungkap Rere sang leader.

Tapi hal tersebut tak menyurutkan semangat para dancer yang sengaja berpakaian seksi itu untuk tampil maksimal dan memukau para penonton yang mayoritas berusia muda. Tak hanya para dancer yang seksi-seksi ini saja yang bikin heboh tapi juga kreatifitas gerakan tari mereka yang juga bisa merebut perhatian penonton karena bisa tampil atraktif.(can)

Smaradha Dance

Kenapa sih namanya Smaradha Dance, jadi dulu tiap anggotanya punya team masing-masing. karena teamnya ngga jelas, para leadernya akhirnya bikin team yang solid banget!! (Soalnya pada niat nari semuaaa..)

“Waduuhhh.. Sebenernya susah lho.. nyari orang-orang kaya kita gini yang niat abis ngeDANCE!! Jadi otomatis kalo latian semua pada bisa dateng! kita biasa latian di sekolah, tepatnya di SMA Patra Dharma meskipun hanya satu kali dalam se Minggu, tapi kita malah sering latihan di rumah,” celetuk Maya.

Smaradha Dance itu paling seneng disuruh latian! Meskipun ada yang ngga ngebolehin latian dia tetep kabur buat latian, trus ada yang rumahnya agak jauh dibela-belain ngesot sampe tempat latian, trus ada yang paling cutek abis bisa dibilang paling aneh dari semuanya dia juga paling seneng latian..

“Jadi kita semua ini bener-bener usaha buat menjadi team yang terbaik. Makanya kami selalu menanamkan rasa kebersamaan agar tiap tampil selalu kompak dan padu, asik juga kan,” timpal Riska yang negbuat teman-temannya makin percaya diri.

Cita – cita Smaradha Dance nyampe dimana sih ? yag jelas para cewek-cewek jelita ini pengen terus eksis nyampe mereka duduk dibangku kuliah, meski saat ini mereka tetap fokus dengan kegiatan yang satu ini. “Jadi kita semua pengen di taun 2008 semakin sukses dan semakin banyak prestasi!! Sambut Rere mewakili rekan-rekannya.

menurut Citra mengapa dirinya lebih memilih Modern Dance sebagai pilihan dalam menyalurkan kreatifitasnya di sekolah, cewek yang satu ini ga neko-noko negjawab kenapa kok suka neg dance. “Abisnya aku emang suka banget sih ama yang namanya menari, makanya aku tekunin dance ini di sekolah, aku hobi banget deh,” ucapnya.

Hal yang sama rupanya menjadi pijakan mengapa pelajar cewek ini demen banget ama dance nyampe mereka pada mau terus eksis ama dunia yang satu ini hingga mereka nanti di bangku kuliah.

Untuk mengembangkan improvisasi dan gaya dalam dance, kan juga butuh yang namanya koreografer. Emang Smaradha Dance juga perlu yang namanya koreografer. Menurut Maya didalam penataan tari, koreografer adalah penting oleh karena mereka adalah sebagai kreator dalam memenuhi keperluan estetik masyarakat sebagai penikmat seni. karena modern dance adalah garapan baru dibentuk oleh koreografer dan ia adalah pemilik individu Sedangkan pada tari tradisional dibuat secara bersama bahkan tidak diketahui siapa penciptanya . Ditemui kenyataan bahwa, tari tradisional sering di jadikan sebagai bahan berpijak untuk berkoreografi dalam melahirkan karya tari baru . Lebih jelas<


kita juga bisa bikin perubahan di ambil dari kompas

Kita Juga Bisa Bikin Perubahan

Enggak cuma institusi atau lembaga yang bisa bikin perubahan. Kita para remaja pun bisa. Termasuk yang masih berstatus pelajar sekolah sekalipun.

Kita mungkin enggak terlalu peduli dengan perubahan yang dilakukan oleh Kompas. Tetapi enggak begitu halnya dengan para pengamat media dari dalam dan luar negeri.

Why change when you are the market leader?” begitu salah satu pertanyaan pakar yang dikutip dari sebuah tulisan di Kompas. Para pengamat merasa heran, mengapa surat kabar yang sudah menjadi pemimpin pasar berani melakukan perubahan.

Kutipan pertanyaan di atas bisa dibilang bukan hal yang aneh. Sesuatu yang telah dianggap mapan bisa jadi akan berisiko kalau diubah. Bagaimana kalau hasil dari perubahan ini nantinya malah enggak sesuai dengan yang diinginkan? Padahal perubahan yang dilakukan menyangkut soal image dan prestasi yang telah diraih sebelumnya.

Ini saatnya siswa kelas II

So, kenapa harus berubah? Jawabannya sih gampang aja, biar selalu up to date!

Yap, mestinya sih kita sendiri sadar kalau zaman memang mengalami perubahan. Malah perubahan yang terjadi enggak dalam jangka waktu yang lama, melainkan terjadi dengan cepat. Enggak heran tren baru selalu bermunculan, baik yang kita sadari maupun yang enggak kita sadari.

Kita para remaja pun sebenarnya juga selalu melakukan perubahan. Enggak percaya? Contoh gampangnya perubahan yang berhubungan dengan trenlah. Kita pasti enggak mau dicap ketinggalan zaman atau kuno. Nah, terbukti kan kalau perubahan itu enggak cuma dilakukan oleh instansi atau lembaga tertentu aja?

Ngomong soal ngikutin tren, perubahan yang kita buat mestinya tidak baru sekali ini kita lakukan. Karena toh dapat kita lakukan kapan saja. Tetapi selain berubah demi tren, ada satu ide perubahan lain yang lebih menantang. Kita yang masih berstatus pelajar SMA mestinya juga melakukan perubahan buat sekolah kita.

Jangan keburu mengerutkan kening dulu. Yang dimaksud bukanlah mengubah aturan atau sistem di sekolah. Yang ini nyaris tak mungkin dilakukan meski kita punya ide atau konsep sekeren apa pun. Perubahan yang bisa kita lakukan lebih kepada berbagai kegiatan di luar belajar-mengajar.

Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam ekstrakurikuler (ekskul) adalah obyek yang sangat mungkin diubah. Tujuannya supaya ekskul kita bisa lebih berkembang dan meraih prestasi. Bangga dong, kalau ekskul yang kita ikutin dikenal sampai ke luar sekolah?

Sekarang siapa yang punya peran buat bikin perubahan terhadap kegiatan ekskul? Yang jelas sih bukan para siswa kelas I. Karena baru memasuki tahun ajaran baru, siswa-siswa kelas I tentu masih menjadi pendatang baru di sekolah. Sehingga, mereka belum paham seluk-beluk dunia SMA.

Siswa kelas III juga tampaknya tak mungkin memegang peranan di sini. Perhatian mereka sudah enggak lagi tercurah pada kegiatan ekskul. Selain bakal menghadapi ujian akhir buat menentukan kelulusan, biasanya tenaga dan pikiran mereka lebih terfokus pada event sekolah yang berskala besar kayak pensi. So, enggak ada pilihan lain, yang harus tampil ke muka adalah para siswa kelas II.

Emang bener. Sekarang ini adalah saatnya bagi para siswa kelas II buat unjuk diri. Sebab, waktu dan kesempatan yang dimiliki lebih banyak. Kesibukan pada pelajaran belum terlalu banyak menyita waktu. Selain itu, kepengurusan ekskul mestinya sudah jadi tanggung jawab para siswa kelas II. Inilah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Ekskul sampai OSIS

Sebenarnya enggak susah kok ngembangin ekskul. Asal kita punya niat dan ide-ide yang fresh, pasti bisa. Apa yang selama ini belum pernah dilakukan bisa diusahakan. Program-program ekskul yang sudah ada tentunya bisa dikembangkan agar lebih menarik dan mantap. Atau sekalian bikin program baru yang lebih asyik dan berbeda dari program yang sudah ada sebelumnya.

Sebagai contoh, teman-teman kita di beberapa SMA sudah melakukan perubahan ini. Salah satunya adalah SMA 47, Jakarta Selatan. Teman-teman kita siswa kelas II di sekolah ini bisa bikin ekskul Karya Ilmiah Remaja (KIR) jadi sorotan. Terutama buat teman-teman yang seangkatan. Caranya adalah dengan membuat temuan yang inovatif.

Belum lama ini ekskul KIR SMA 47 berhasil menjadi juara pertama lomba KIR yang digelar oleh Dinas Pemuda dan Olah Raga. Temuan mereka yang berupa alat bernama Seismobile dianggap sebagai temuan yang sangat bermanfaat. Idenya adalah sebuah alat buat memantau gempa. Hebatnya, kegunaan yang begitu besar dihasilkan lewat sistem yang sangat sederhana.

Tapi yang paling penting, dengan menjadi pemenang, ekskul KIR SMA 47 mulai diperhatiin oleh siswa SMA 47 lainnya. Maklum selama ini ekskul tersebut kurang mendapat tanggapan dari mereka.

”Sejak (KIR) jadi juara lomba, mulai banyak yang ngasih respons. Sebelumnya enggak ada sama sekali yang merhatiin. Emang sih ekskul ini sebenernya enggak menarik minat buat anak-anak sekarang. Apalagi yang sukanya gaul-gaul gitu. Tapi akhirnya banyak yang melihat kalo ekskul ini sebenernya menarik,” begitu kata Anjar, siswa Kelas II SMA 47 yang jadi salah satu tim pemenang lomba KIR.

Awalnya sih Anjar enggak jauh beda sama mayoritas temen-temennya. Ekskul KIR dianggap sama sekali enggak menarik. Dari segi kegiatan cenderung membosankan. Tapi berkat kemauan yang keras, dipicu oleh adanya lomba yang harus diikuti, bersama sejumlah temannya, Anjar berhasil bikin perubahan buat ekskul KIR SMA 47.

Contoh lainnya seperti yang dilakukan teman-teman kita yang tergabung dalam kelompok modern dance Temptation. Mereka bukan cewek, melainkan para cowok yang suka nge-dance. Mereka ini terdiri atas siswa Kelas II SMA 22 dan SMA 78 Jakarta.

Sejumlah perubahan berhasil mereka lakuin. Yang pertama soal keberanian buat ikutan ekskul modern dance di sekolah. Selama ini ekskul tersebut memang didominasi oleh para siswi. Tetapi karena dasarnya hobi nge-dance, mereka pun enggak melihat ada masalah kalau cowok ikutan ekskul dance.

Setelah ikutan ekskul dance, ternyata mereka malah berhasil meraih prestasi. Mereka berhasil memenangi sejumlah lomba yang mereka ikuti. Akibatnya, temen-temen cowok yang tadinya cuma memandang sebelah mata, mulai memberikan respons yang bagus.

Mereka juga enggak cuma mendapat respons dari temen-temen mereka sendiri. Respons dari pihak luar pun enggak kalah banyaknya. Sudah beberapa kali grup modern dance mereka mendapat undangan buat tampil di berbagai event. Jadi selain nama jadi lebih dikenal, mereka pun bisa mendapat penghasilan yang lumayan.

Kami berusaha nunjukin kalo hobi kami ini asyik dan bermanfaat. Pokoknya kami nunjukin kalo cowok tuh bisa nge-dance, bisa berprestasi, dan enggak malu-maluin, tegas Billy, dari SMA 22.

Dua contoh di atas kayaknya layak dijadikan gambaran perubahan yang bisa kita lakukan. Ekskul bisa jadi titik awalnya. Tapi yang jelas enggak terbatas sampai di situ aja. Perubahan yang lebih terasa buat sekolah pun bisa dilakukan. Ingat, sebagai siswa kelas II kita bisa menjalani fungsi badan eksekutif di sekolah. Yup, dengan kata lain kita bisa menjadi anggota OSIS.

OSIS sebagai organisasi yang mengatur kegiatan siswa sebenarnya sangat bisa melakukan perubahan. Lihat aja dari fungsinya yang membawahi sejumlah ekskul dan merancang kegiatan siswa yang lingkupnya lebih besar. Ide pembentukan ekskul baru bisa digulirkan dari sini. Atau kalau yang udah pernah dilakukan oleh temen-temen kita dari OSIS SMA 91 adalah membuat sistem pemilu OSIS yang baru.

Kami bosan pake cara-cara yang sama tiap tahunnya. Apalagi pengambilan suara berdasarkan MPK kurang demokratis. Enggak semua siswa bisa memilih, jelas Cessna, yang waktu itu masih kelas II dan menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS SMA 91.

Sistem yang baru ini mengadaptasi dari sistem pemilu yang dilakukan negara. Para siswa diberikan hak suara langsung buat memilih pengurus OSIS. Pelaksanaannya pun enggak jauh beda dengan sistem pemilu nasional. Buntutnya sistem seperti ini mendapat sambutan yang cukup antusias dari siswa-siswi SMA 91.

Menurut gue, pemilihan ketua OSIS pake cara ini lebih seru dan kreatif, kata Radi, salah satu siswa SMA 91.

Nah para siswa kelas II, sekaranglah saatnya melakukan sesuatu. Manfaatkan kesempatan yang sudah terbuka lebar dengan ide-ide baru. Perubahan yang dibikin nantinya enggak cuma berguna buat sekolah, tapi buat diri kita sendiri juga.

Sabtu, 31 Mei 2008

sejarah modern dance di kutip dari wikipedia

Modern dance is a dance form developed in the early 20th century. Although the term Modern dance has also been applied to a category of 20th Century ballroom dances, Modern dance as a term usually refers to 20th century concert dance.

Origins

In the early 1900s a few dancers in Europe started to rebel against the rigid constraints of Classical Ballet. Shedding classical ballet technique, costume and shoes, these early modern dance pioneers practiced free dance. Modern dance is about 100 years old.


in the United States

In United States Loie Fuller, Isadora Duncan, Ruth St. Denis, Doris Humphrey and Martha Graham developed their own styles of free dance and laid the foundations of American modern dance with their choreography and teaching.

In Europe

In Europe Francois Delsarte, Émile Jaques-Dalcroze and Rudolf von Laban developed theories of human movement and expression, and methods of instruction that led to the development of European modern and Expressionist dance. Their theories and techniques spread well beyond Europe to influence the development of modern dance and theatre via their students and disciples, and subsequent generations of teachers and performers carried these theories and methods to Russia, the United States and Canada, the UK, Australia and New Zealand.

Free dance

Main article: Free dance
  • 1891 - Loie Fuller (a burlesque skirt dancer) began experimenting with the effect that gas lighting had on her silk costumes. Fuller developed a form of natural movement and improvisation techniques that were used in conjunction with her revolutionary lighting equipment and translucent silk costumes. She patented her apparatus and methods of stage lighting that included the use of coloured gels and burning chemicals for luminescence, and also patented her voluminous silk stage costumes.
  • 1903 - Isadora Duncan developed a dance technique influenced by the philosophy of Friedrich Nietzsche and a belief that dance of the ancient Greeks (natural and free) was the dance of the future. Duncan developed a philosophy of dance based on natural and spiritual concepts and advocated for that acceptance of pure dance as a high art.

Fuller, Duncan and St. Denis all toured Europe seeking a wider and more accepting audience for their work. Only Ruth St. Denis returned to the United States to continue her work, Isadora Duncan died in Paris in 1927 and Fuller's work received little support outside Europe.

Early modern dance

In 1915 Ruth St. Denis founded the Denishawn school and dance company with her husband Ted Shawn. Whilst St. Denis was responsible for most of the creative work, Shawn was responsible for teaching technique and composition. Martha Graham, Doris Humphrey, and Charles Weidman were all pupils at the school and members of the dance company.

After shedding the techniques and compositional methods of their teachers the early modern dancers developed their own methods and ideologies and dance techniques that became the foundation for modern dance practice.

  • Helen Tamiris - originally trained in free movement (Irene Lewisohn) and ballet (Michel Fokine) Tamiris studied briefly with Isadora Duncan but disliked her emphasis on personal expression and lyrical movement. Tamiris believed that each dance must create its own expressive means and as such did not develop an individual style or technique. As a choreographer Tamiris made works based on American themes working in both concert dance and musical theatre.
  • Lester Horton - choosing to work in California (three thousand miles away from the center of modern dance - New York), Horton developed his own approach that incorporated diverse elements including Native American dances and modern Jazz. Horton's dance technique (Lester Horton Technique) emphasises a whole body approach including; flexibility, strength, coordination, and body awareness to allow freedom of expression.

European modern and expressionist dance

See also: Expressionist dance and Ausdruckstanz

Popularization of American Modern Dance

In 1927 newspapers regularly began assigning dance critics, such as Walter Terry, and Edwin Denby, who approached performances from the viewpoint of a movement specialist rather than as a reviewer of music or drama. Educators accepted modern dance into college and university curricula, first as a part of physical education, then as performing art. Many college teachers were trained at the Bennington Summer School of the Dance, which was established at Bennington College in 1934.

Of the Bennington program, Agnes de Mille wrote, "...there was a fine commingling of all kinds of artists, musicians, and designers, and secondly, because all those responsible for booking the college concert series across the continent were assembled there. ... free from the limiting strictures of the three big monopolistic managements, who pressed for preference of their European clients. As a consequence, for the first time American dancers were hired to tour America nationwide, and this marked the beginning of their solvency." (de Mille, 1991, p. 205)

Development of modern dance

Whilst the founders on modern dance continued to make works based on ancient myths and legends following a narrative structure, their students the radical dancers saw dance as a potential agent of change. Disturbed by the Great Depression and the rising threat of fascism in Europe, they tried to raise consciousness by dramatizing the economic, social, ethnic and political crises of their time.

  • Anna Sokolow - a student of Martha Graham and Louis Horst, Sokolow created her own dance company (circa 1930). presenting dramatic contemporary imagery, Sokolow's compositions were generally abstract; revealing the full spectrum of human experience reflecting the tension and alienation of the time and the truth of human movement.
  • José Limón - In 1946, after studying and performing with Doris Humphrey and Charles Weidman, Limón established his own company with Humphrey as Artistic Director. It was under her mentorship that Limón created his signature dance, The Moor’s Pavane (1949). Limón’s choreographic works and technique remain a strong influence on contemporary dance practice.
  • Merce Cunningham - a former ballet student and performer with Martha Graham, he presented his first New York solo concert with John Cage in 1944. Influenced by Cage and embracing modernist ideology using postmodern processes, Cunningham introduced chance procedures and pure movement to choreography and Cunningham technique to the cannon of 20th century dance techniques. Cunningham set the seeds for postmodern dance with his non-linear, non-climactic, non-psychological abstract work. In these works each element is in, and of itself expressive, and the observer (in large part) determines what it communicates.
  • Erick Hawkins - a student of George Balanchine Hawkins became a soloist and the first male dancer in Martha Graham's dance company. In 1951 Hawkins, interested in the new field of kinesiology, opened his own school and developed his own technique (Hawkins technique) a forerunner of most somatic dance techniques.
  • Alwin Nikolais - a student of Hanya Holm, not only pre-empted postmodern dance but also dance technology (as did Loie Fuller) before Judson Dance Theater in the 1960s. Nikolais use of multimedia in works such as Masks, Props, and Mobiles (1953), Totem (1960), and Count Down (1979) was unmatched by other choreographers. Often presenting his dancers in constrictive spaces and costumes with complicated sound and sets he focused their attention on the physical tasks of overcoming obstacles he placed in their way. Nikolais viewed the dancer not as an artist of self-expression, but as a talent who could investigate the properties of physical space and movement.

African American modern dance

See also: African American dance

The development of Modern dance embraced the contributions of African American dance artists regardless of whether they made pure modern dance works or blended modern dance with African and Caribbean influences.

  • Katherine Dunham - African American dancer, and anthropologist, originally a ballet dancer she founded her first company Ballet Negre in 1936 and later the Katherine Dunham Dance Company based in Chicago, Illinois. Dunham opened a school in New York (1945) where she taught Katherine Dunham Technique, a blend of African and Caribbean movement (flexible torso and spine, articulated pelvis and isolation of the limbs and polyrhythmic movement) integrated with techniques of ballet and modern dance.
  • Pearl Primus - a dancer, choreographer and anthropologist Primus drew on African and Caribbean dances to create strong dramatic works characterized by large leaps in the air. Primus often based her dances on the work of black writers and on racial and African-American issues. Primus created works based on Langston Hughes The Negro Speaks of Rivers (1944), and Lewis Allan's Strange Fruit (1945). Her dance company developed into the Pearl Primus Dance Language Institute which teaches her method of blending African-American, Caribbean, and African influences with modern dance and ballet techniques.

Guangdong Modern Dance Company Sebuah Cermin Kebebasan Masyarakat Cina di kutip dari sinar harapan

Guangdong Modern Dance Company
Sebuah Cermin Kebebasan Masyarakat Cina

JAKARTA–Memaksimalkan bahasa lisan melalui gerak dan bahasa tubuh, berekspresi dalam sebuah pementasan tari dan membuat pementasan itu menjadi universal untuk dinikmati oleh penonton. Itulah keunikan dari Guangdong Modern Dance Company. Selama dua hari, hingga nanti malam (1/9), kelompok seni dari negeri ”Tirai Bambu” ini menyajikan tarian kontemporer bernuansa kebebasan, perpaduan antara tradisi Cina dan kemodernan negeri Barat, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Karena itu, ketika para koreografer Barat bertemu dengan kelompok tari Guangdong Modern Company, bahasa bukan lagi jurang pemisah. Pertemuan koreografer Becky Edmunds dan Charlie Morrisey dari Brighton dengan kelompok Guangdong menghasilkan tarian berjudul A Tacit Assembly. Tarian menampilkan gerak tari dengan irama bak air laut, penuh kehangatan tanpa memihak sejarah baik dari Timur maupun Barat.

Pementasan yang berkolaborasi dengan koreografer Barat, menurut Gao Cheng ming -pimpinan artistik Guangdong - menyisakan lima nomor garapan penari Cina bernuansa modern. Salah satunya adalah tarian karya Li Pai Shi I want To Fly, yang dimainkan solois. Garapan koreografer Cina lainnya, Sitting Still (duduk diam-Red.) yang ditarikan oleh enam orang, merupakan variasi dan harmonisasi tari I Want to Fly yang ditarikan secara solo. Heart Shape yang ditarikan oleh dua penari pria sebagai simbol perjuangan yang keras. One hundred ninety Degree menggambarkan tentang sosok wanita Cina masa kini. Sedangkan momen kelima menyodorkan tari bertema Ling Lei.

Ling Lei (di luar kenormalan-Red.) ditarikan oleh empat belas penari dengan durasi 35 menit, bercerita tentang ketidakpuasan pada kehidupan yang sedang berlangsung, selalu berusaha menghadapi jalan kehidupan dengan penuh perasaan dan emosi.

Mengenai pertanyaan mengapa seni Guangdong di Cina tak mengambil bentuk seni tradisi dari Jerman Timur di mana negaranya punya ideologi yang sama, menurut Gao, itu adalah pilihan. Jerman Barat dan Amerika punya ideologi dan filsafat kebebasan sehingga dapat memberikan alternatif dalam gerak. Termasuk inovasi dan improvisasi tari. ”Tema I want to Fly cukup menjelaskan tema tari secara keseluruhan. Kami ingin terbang. Gerakan teknik sangat penting, termasuk perwujudan makna untuk terbang bebas. Cina ingin terbang, maju dan bebas,” sambung Gao.

Kolaborasi

Sejarah tari modern di Cina, menurut Gao, sebenarnya belum cukup lama, yakni dimulai sejak tahun 1980-an. Secara budaya, masyarakat Cina sudah mulai terbuka. Sebagai bukti, muncul seni-seni eksperimental dan kontemporer. Dalam periode 5-10 tahun ini, sesungguhnya kelompok tari modern semacam Guangdong sudah mulai diterima tak hanya di kalangan domestik atau nasional. Penampilan mereka pun sudah mulai menarik perhatian peminat seni di luar negeri. Guangdong, sebelum event Art Summit III, 2001 di Indonesia ini telah ikut dalam Festival Edinburg di tahun silam. Bahkan di tahun 1998, mereka juga meraih Golden Prize dalam International Dance Competition di Paris.

Menurut Sal Murgiyanto, pengamat seni pertunjukan, pada masa kebebasan di era 1980-an, Guangdong Modern Dance Company merupakan seni tari modern pertama di Cina. Di luar itu, masih ada lima kelompok tari profesional di RRC. ”Tentu saja, selain tari rakyat atau tari daerah yang ada di sana,” ujar Sal. Baru pada tahun 1990-an tari modern makin kental dengan pengaruh Amerika. Itu ditandai dengan kehadiran dosen dari American Dance Festival yang mengajar di sana.

Ditambahkan oleh Gao, tepatnya pada tahun 1992, koreografer Shen Wei telah belajar seni tari kontemporer di daratan Cina dari Mei Qi di sekolah tari Guangdong. Guangdong sebagai kelompok seni kontemporer dari Cina sudah aktif belajar seni pertunjukan modern dari negeri Barat. ”Sebaliknya, banyak juga guru dan penata tari dari Barat yang belajar di Quangtung. Kita belajar dari master modern Barat dan juga memadukannya dengan pengalaman seni tari Cina yang tradisional, yang avant-garde (perintis - Red) dan yang khas Cina,” ucapnya dalam bahasa Cina yang diterjemahkan.

Dari beberapa nomor, ada karya yang dipengaruhi Barat terutama dari musiknya. Namun ada juga tarian yang menampilkan elemen tradisi Cina yang kuat namun sudah mengalami modifikasi. ”Beberapa di antaranya sudah pernah dibawa ke Amerika Serikat,” ujarnya. Musik yang dihasilkan pada tarian ini pun paduan dari musik Barat yang keras dan juga musik yang bernuansa orientalis. Perpaduan tari, hasil kolaborasi antara Becky Edmunds, Charlie Morrisey dari Brighton merupakan contoh kolaborasi yang berakhir pada garapan tari kontemporer gemilang. ”Yang terpenting,” jelas Gao, ”ekspresi modern dance itu cukup bebas.

Tarian macam ini menonjolkan teknik dengan mengutamakan emosi dan perasaan. Itu merupakan perpaduan dan akulturasi dari teknik tradisi Cina dengan kebebasan tradisi Amerika yang secara sosial dan budaya sudah memiliki kebebasan.”

Pementasan Guangdong juga telah mendapatkan dukungan, antara lain dari pemerintah dan donasi. Provinsi Quangtung memang memperhatikan sekali seni termasuk tari tradisi dan kontemporer. Wajar saja bila kelompok tari ini bisa tampil dengan maksimal.

Untuk menjadi anggota grup Guangdong, ternyata banyak ujian sulit yang harus dihadapi. Mulai dari menguasai teknik balet klasik dan tradisi Cina, proses latihan ritual tiga hingga enam bulan dan bisa lolos dari seleksi. Untuk latihan bisa delapan jam setiap harinya.

Persahabatan

Tari Cina kontemporer yang ditampilkan oleh Guangdong ini adalah bagian dari pementasan Art Summit III, 2001. Penampilan kelompok ini diharapkan memberikan khazanah baru, khususnya buat seni musik Cina kontemporer.

Menurut sutradara Guangdong, Sun Qiang, acara ini sangat kental dengan suasana persahabatan antara Cina dan Indonesia yang tak hanya ditampilkan dengan pementasan seni dan budaya kontemporer Cina. Namun lebih dari itu, merupakan bentuk persahabatan yang sudah lama terjalin. Dalam momen lawatan sekaligus pentas seni kontemporer ini dia melihat Jakarta dan Indonesia sangat indah.

Bahkan, Gao, dengan pengamatan teknis dan artistiknya melihat seni kontemporer Indonesia sesungguhnya juga punya kualitas. Dia mengharapkan seni kontemporer Indonesia juga bisa rutin mengadakan lawatan ke luar terutama dalam peristiwa-peristiwa seni mancanegara

salam perkenalan

hai semua. selamat datang di blog icha, disini tempat buat hal tentang coklat dan modern dance
tunggu untuk posting berikutnya